Diskursus sejarah masuknya Islam di Jawa dan cara penyebarannya menurut pendapat yang paling dominan mengatakan bahwa Islam disebarkan melalui perdagangan seperti diungkapkan oleh sejarawan asal Belanda Wertheim dan Pijnapel.
Namun demikian, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Islam tersebar di Jawa dilakukan oleh para dai sufi dari wilayah Bengal sebagaimana dinyatakan oleh Fatimi, John, dan Tjandrasasmita. Faktor keberhasilan dai sufi dalam
berdakwah adalah kemampuan dai sufi untuk mengakomodasi ‘keyakinan lokal’ yang kemudian mewujud dalam berbagai kemasan ritual Islam. Untuk menguji teori ini, Jhon melakukan studi literature lokal yang memiliki keterkaitan dengan para pengembara sufi yang diyakini oleh penduduk lokal Nusantara pada zaman pra-Islam.
Namun demikian, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Islam tersebar di Jawa dilakukan oleh para dai sufi dari wilayah Bengal sebagaimana dinyatakan oleh Fatimi, John, dan Tjandrasasmita. Faktor keberhasilan dai sufi dalam
berdakwah adalah kemampuan dai sufi untuk mengakomodasi ‘keyakinan lokal’ yang kemudian mewujud dalam berbagai kemasan ritual Islam. Untuk menguji teori ini, Jhon melakukan studi literature lokal yang memiliki keterkaitan dengan para pengembara sufi yang diyakini oleh penduduk lokal Nusantara pada zaman pra-Islam.
Menurut Babad Tanah Djawi, penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh Walisongo. Para wali masing-masing mempunyai pesantren sebagai tempat para santri belajar agama Islam. Mereka bukan saja sebagai pembuka babak baru Islam di Jawa, tetapi mereka juga menguasai zaman berikutnya yang kemudian dikenal dengan ‘ zaman kewalen” (zaman wali). Perkembangan Islam di luar Jawa relatif lebih cepat penyebarannya karena tidak banyak berhadapan dengan budaya-budaya lain, kecuali budaya Hindu-Budha. Di Jawa Islam menghadapi suasana yang kompleks dan halus yang dipertahankan oleh para penguasa/raja. Oleh karena itu, perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan budaya. Pertama, budaya petani lapisan bawah yang merupakan bagian kelompok terbesar yang masih dipengaruhi oleh animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan Istana yang merupakan tradisi agung yang merupakan
unsur filsafat Hindu-Budha yang diperhalus budaya lapis atas. Penyebaran Islam di Jawa untuk beberapa abad tidak mampu menembus benteng pengaruh kerajaan Hindu yang kejawen. Penyebaran Islam harus merangkak dari kalangan bawah, yaitu ke daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisir yang ada pada akhirnya melahirkan komunitas baru
yang berpusat di pesantren. Watak penetrasi dakwah Islam secara damai dan mengajarkan nilai persamaan ( equality)
menjadi pemicu Islam mudah diterima kelompok masyarakat kecil. Konsep stratifikasi sosial (kasta) dalam agama Hindu bagi mereka sudah tidak menarik lagi. Oleh karena itu, datangnya Islam membawa pengaharapan kepada mereka untuk diperlakukan sama dan terbebas dari struktur sosial yang tidak menguntungkan mereka. Dalam konteks politik, kekuatan Islam lambat laun menjadi kekuatan politik, yaitu sebagai kekuatan oposisi ( counter hegemony) dari kekuasaan kerajaan Hindu-Budha. Sejak runtuhnya kerajaan Jawa Hindu Majapahit (1518 M) dan berdirinya kerajaan Islam
Demak, maka dimulailah Islam sebagai bagian dari kekuatan politik. Bahkan dalam penilaian para pujangga, berdirinya kerajaan Demak dipandang sebagai zaman peralihan dari zaman “ kabudhan” (tradisi Hindu-Budha) ke zaman “ kawalen” (wali). Pearlihan ini bukan berarti pembuangan budaya adiluhung zaman Hindu-Budha, namun bersifat pengislaman dan penyesuaian dengan suasana Islam. Peralihan ini melahirkan bentuk peralihan yang berupa ‘ sinkretisme” antara warisan budaya animisme-dinamisme dan unsur-unsur Islam. Dakwah Islam dilihat dari interaksinya dengan lingkungan sosial budaya setempat, berkembang dengan dua pendekatan yang nonkompromis dan kompromis. Pendekatan nonkompromis adalah dakwah Islam dengan mempertahankan identitas-identitas agama serta tidak mau menerima budaya luar kecuali budaya tersebut seirama dengan ajaran Islam. Pendekatan kompromis (akomodatif) adalah pendekatan yang berusaha menciptakan suasana damai, penuh toleransi, sedia hidup berdampingan dengan pengikut agama dan tradisi lain yang berbeda tanpa mengorbankan agama dan tradisi agama masing-masing ( cultural approach).
Tampaknya para wali di Jawa dalam berdakwah lebih memilih pendekatan kompromistik mengingat latarbelakang sosiologis masyarakat Jawa yang lengket tradisi nenek moyang mereka. Para wali menyusupkan dakwah Islam di kalangan masyarakat bawah melalui daerah pesisir yang jauh dari pengawasan kerajaan Majapahit. Para wali dan segenap masyarakat pedesaan membangun tradisi/budaya baru melalui pesantren sebagai basis kekuatan. Kekuatan-kekuatan yang digalang para wali pada akhirnya menandingi kekuatan wibawa kebesaran kerajaan Jawa Hindu yang semakin lama semakin surut dan akhirnya runtuh. Pergulatan antara Islam dengan budaya Jawa dapat kita temukan wujud nyatanya pada gelar-gelar raja Islam yang dipinjam dari mistik Islam. Dalam silsilah geneologis, meskipun raja-raja Jawa masih diklaim sebagai keturunan dewa, tetapi akar geneologis teratas dilukiskan dalam konsep nur-roso dan nur-cahyo. Menurut silsilah keraton, nur-roso dan nur-cahyo inilah yang melahirkan nabi Adam dan dewa-dewa sebagai kakek moyang raja-raja Jawa. Istilah nur-roso dan nur-cahyo walaupun konotasinya bersifat jawa, namun substansinya mengajarkan kepada konsep nur-Muhammad.
Gambaran dari adanya akulturasi unsur Islam dan Jawa pada akhirnya melahirkan budaya sintesis. Berikut ini sebuah sintesis yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Djawi (sejarah tanah jawa) sebagai berikut. Inilah sejarah kerajaan tanah jawa, mulai dengan nabi Adam yang berputrakan Sis. Sis berputrakan Nur-cahyo, nur-cahyo berputrakan nur-rasa, nur-rasa berputrakan sang hyang tunggal…. Istana batara guru di sebut Sura laya (nama taman firdaus Hindu). Dari kutipan naskah babad tanah Djawi di atas, tampak jelas adanya akulturasi timbal balik antara Islam dengan budaya Jawa dengan mengakomodir kepentingan masing-masing. Dalam proses interaksi ini, masuknya Islam di jawa tidaklah membentuk komunitas baru yang sama sekali berbeda dengan masayarakat sebelumnya. Sebaliknya, Islam mencoba untuk masuk ke dalam struktur budaya Jawa dan mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa islami. Pementasan wayang sering disimbolkan sebagai gambaran kehidupan manusia dalam menemukan Tuhannya. Lakon-lakon yang ditampilkan merupakan ajaran-ajaran syari’at untuk membawa penonton pada nuansa yang religius. Oleh karena itu, wayang dianggap sebagai bagian dari acara religius untuk mengajarkan ajaran-ajaran ilahi. Seorang dalang dipersonifikasikan sebagai ‘Tuhan’ yang dapat memainkan peran dan nasib orang (wayang). Pelukisan ini ditafsirkan
secara ortodoks sebagai deskripsi puitis mengenai takdir.
Dilihat dari intensitas pengamalan ajaran-ajaran agama, masyarakat Jawa terbagai menjadi dua, yaitu kelompok santri dan kelompok abangan. Kelompok santri adalah kelompok masyarakat yang selalu mendasarkan perbuatanya pada ajaran-ajaran agama. Sedangkan kelompok abangan masih mendasarkan pandangan dunianya pada tradisi Hindu-Budha atau kebudayaan Jawa. Di jawa Tengah bagian selatan, misalnya, pergulatan santri dan abangan justru didominasi oleh
kelompok abangan.
catatan penting : "saya harap tidak ada penafsiran yang salah dari postingan ini. Tulisan ini saya ambil tanpa perubahan apapun dari tulisan Bapak RIDWAN beliau adalah Magister Agama (M.Ag.), dosen tetap Jurusan Hukum Islam (Syari’ah) STAIN
Purwokerto. Bukunya yang cukup popular adalah: Membongkar Fiqh Negara (Yogyakarta: PSG
STAIN Purwokerto & Unggun Religi, 2005)."
0 comments:
Post a Comment