Musikalitas The Trees And The Wild (TTATW) sudah tidak perlu diragukan lagi. Sejak album perdana mereka “Rasuk” keluar pada Mei 2009, kepiawaian TTATW langsung terdengar hingga ke luar negeri. Majalah Time memberikan pengakuan internasional dengan menganugerahkan gelar “Must See Acts 2011”.
Band indie yang terbentuk pada 2006 ini awalnya hanya diusung oleh tiga orang: Remedy Waloni (vokal/gitar akustik), Andra Kurniawan (gitar akustik dan elektrik), dan Iga Massardi (gitar elektrik). Pada 2011, Tyo Prasetya (bass, gitar), Charita Utami alias Tami (vokal), dan Hertri Nur Pamungkas (drum) melengkapi formasi TTATW menjadi enam orang.
Salah satu lagu TTATW, “Malino”, masuk dalam album kompilasi SEA Absolute Indie. Album ini diprakarsai oleh Music Service Asia yang bermarkas di Singapura, berisikan band-band indie terbaik di se-Asia Tenggara agar kualitas musik mereka dapat didengar hingga ke benua Amerika dan Eropa. Tyo dan Tami, ditemani Diego sang manajer mampir ke kantor Yahoo! Indonesia pada Rabu (9/11) sore. Mereka pernah ditawari masuk label mayor nggak ya?
Kenapa nama band kalian The Trees And The Wild?
Tyo: Itu acak saja sih. Tidak ada filosofi khusus.
Tami: Hanya karena enak didengar.
Bagaimana latar belakangnya kalian membuat film dokumenter “Dua Tiang Tujuh Layar”?
Diego: Film dokumenter itu awalnya sebuah proyek, terinspirasi dari pengalaman pribadi Remedy. Dia sempat ke suatu daerah di Sulawesi.
Tyo: Di sana Remedy pernah naik kapal Phinisi dan dia merasa terpukau dengan keindahan kapal itu.
Tami: Dan karena kapal Phinisi juga salah satu budaya Indonesia yang agak terlupakan. Selama ini kan orang hanya banyak tahu tentang batik.
Diego: Kami mengambil sisi semangat dari kapal Phinisi. Kapal ini kan hanya dibuat satu dalam satu tahun. Proses pembuatannya pun melibatkan banyak orang. Kapal ini kan juga cukup terkenal karena mampu berlayar keliling dunia. Semangat seperti itu sih yang ingin kami tampilkan melalui sebuah film.
Tapi kenapa lewat film? Kenapa tidak melalui lagu?
Tyo: Sebuah karya kan tidak harus melalui lagu.
Tami: Kami ingin membuat konsep yang berbeda.
Kenapa kalian membawa masuk unsur musik tradisional Indonesia dalam setiap lagu The Trees and The Wild?
Tami: Kami kan orang Indonesia. Kami ingin anak muda yang mendengar lagu kami, tidak lupa dengan tradisi dalam negeri sendiri.
Sudah puas dengan perolehan TTATW?
Tyo: Manusia kan memang tidak pernah puas. Tapi ya kami hanya ingin berusaha berkarya sebaik mungkin saja.
Saat kalian tahu bahwa band kalian masuk dalam album kompilasi SEA Absolute Indie ini, apa reaksi kalian?
Diego: Ini sebuah kehormatan, bisa disandingkan dengan band lain di luar negeri.
Pernah ditawarkan pindah ke label mayor?
Tami: Setelah kami berenam sih belum pernah ada yang menawarkan.
Kalau ada yang menawari lagi, tertarikkah?
Diego: Kami sih tertarik.
Tyo: Sebenarnya sih tidak penting sih label indie atau label mayor. Label apapun, yang terpenting tidak merubah apapun dari The Trees and The Wild.
Apa yang menginspirasi kalian sampai bisa menghasilkan musik TTATW?
Tami: Sebenarnya variatif sekali ya selera musik kami berenam. Nah dari banyaknya selera musik itu, kami satukan semua hingga menghasilkan musik yang baik.
Dari mata kalian sebagai pegiat musik, negara mana di Asia Tenggara yang scene indienya paling berkembang?
Tyo: Musik indie di Indonesia sih yang paling berkembang. Beberapa kali aku melihat penampilan band indie di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura, jenis musik band indie di sana tidak sebanyak di Indonesia sih. Pernah dengar juga kalau di Filipina juga cukup berkembang.
Kenapa lagu “Malino” yang dimasukkan di album kompilasi SEA Absolute Indie?
Tami: Nama Malino itu kan berasal dari nama pegunungan di Sulawesi. Dan menurut kami itu sudah cukup mewakili nama Indonesia.
Jika kalian diminta mendeskripsikan musik The Trees and The Wild, bagaimana kalian menjelaskannya?
Tami: Sederhananya sih folk pop.
Diego: Pop kreatif.